Secara bahasa manusia berasal dari
kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin),
yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk ang berakal budi (mampu
menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep
atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus)
atau seorang individu.
Manusia
adalah mahluk yang luar biasa kompleks. Kita merupakan paduan antara
mahluk material dan mahluk spiritual. Dinamika manusia tidak tinggal diam
karena manusia sebagai dinamika selalu mengaktivisasikan dirinya.
Sedangkan Kata kebudayaan berasal dari kata budh—>
budhi—> budhaya dalam bahasa sansekerta yang berarti akal, sehingga
kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Ada pendapat
yang mengatakan bahwa kebudayaan yang berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah
akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya berarti perbuatan
atau ikhtiar sebagai unsur jasmani, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil
dari akal dan ikhtiar manusia (supartono, 2001; Prasetya, 1998).
Dalam sosiologi manusia dan kebudayaan dinilai sebagai
dwitunggal, maksudnya bahwa walaupun keduanya berbeda tetapi keduanya merupakan
satu kesatuan. Manusia menciptakan kebudayaan, dan setelah kebudayaan itu
tercipta maka kebudayaan mengatur hidup manusia agar sesuai dengannya. Tampak
bahwa keduanya merupakan satu kesatuan.
Contohnya yaitu manusia dan kebudayaan masyarakat minang
kabau. Mulai dari kebiasaan dari keluarga, berhubungan dengan tetangga,
masyarakat dan lingkungan. Masyarakat minang terkenal dengan adanya “adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah” yang merupakan landasan untuk memberikan lingkungan sosial
budaya yang melahirkan kelompok signifikan manusia unggul dan tercerahkan, sedangkan kitabullah itu adalah alquran dan “alam takambang manjadi guru” menunjukkan
bahwa para filsuf meletakkan landasan filosofis Adat Minangkabau atas dasar
pemahaman yang mendalam tentang bagaimana bekerjanya alam semesta serta dunia
ini termasuk manusia dan masyarakatnya. Mereka telah menjadikan alam semesta
menjadi ”ayat dari Nan Bana”.
Dalam masyarakat minangkabau wanita
sangat dihargai, dihormati dan dilindungi. Perempuan juga menempati “posisi pemilik rumah, hiduik batampek, mati bakubua,
kuburan hiduik dirumah gadang, kuburan mati ditangah padang, dengan peran
induak bareh, nan lamah ditueh, nan condong ditungkek, ayam barinduak, siriah
bajunjuang”. Artinya perempuan itu pengendali ekonomi keluarga. Peran idealnya
sebagai pemilik suku, kekayaan, rumah, anak, dan kaum.
Dikalangan
masyarakat minangkabau anak mengikuti suku ibunya, kaum ibunya, harta dan
warisan diturunkan kepada anak perempuannya, bahkan anak juga dibimbing oleh “mamak”nya. Dengan pepatah “anak dipangku, kemenakan dibimbiang”. Juga bermasyarakat dengan kato nan ampek yaitu
“kato mandaki” adalah tata karma
bertutur kepada yang lebih tua, “ kato
malereng” adalah bertutur kepada yang disegani, “kato mandata” adalah bertutur kepada teman atau sebaya dan “kato manurun” yaitu bertutur kepada yang
lebih muda.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia tidak dapat
dilepaskan dari kebudayaan, karena kebudayaan itu merupakan perwujudan dari
manusia itu sendiri. Apa yang tercakup dalam satu kebudayaan tidak akan jauh menyimpang.
Dari sisi lain, hubungan antara manusia dan kebudayaan ini dapat dipandang setara dengan hubungan antara manusia dengan masyarakat dinyatakan sebagai dialektis, maksudnya saling terkait satu sama lain.
Dari sisi lain, hubungan antara manusia dan kebudayaan ini dapat dipandang setara dengan hubungan antara manusia dengan masyarakat dinyatakan sebagai dialektis, maksudnya saling terkait satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar